Denda Administratif Tambang, Apa Bedanya Dengan Sanksi Pidana Dan Perdata?

Selasa, 16 Desember 2025

    Bagikan:
Penulis: Samuel Irvanda
Denda administratif merupakan sanksi khusus negara sebagai regulator, terpisah dan tetap berlaku meski perusahaan juga menghadapi proses pidana atau gugatan perdata. (Dok Kementerian LH)

JAKARTA - Penerapan denda administratif melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 391 Tahun 2025 memperkenalkan satu lapis lagi dalam skema penegakan hukum di sektor pertambangan dan lingkungan. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung dengan tegas menyatakan bahwa pembayaran denda ini tidak menggugurkan kewajiban lain perusahaan, baik itu kewajiban lingkungan maupun kewajiban finansial seperti royalti dan pajak. Pernyataan ini penting untuk memahami sifat denda administratif yang berbeda dari sanksi pidana atau liabilitas perdata.

Denda administratif pada dasarnya adalah sanksi yang dijatuhkan oleh pemerintah selaku regulator karena pelanggaran terhadap ketentuan administrasi atau perizinan. Dalam konteks ini, pelanggarannya adalah beroperasi di kawasan hutan tanpa memiliki izin sektor kehutanan yang sah. Sanksi ini bersifat cepat dan langsung dari otoritas administratif (dalam hal ini Kementerian ESDM melalui Satgas), tanpa harus melalui proses pengadilan yang panjang seperti sanksi pidana.

Sementara itu, tanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan lingkungan adalah liabilitas perdata. Kewajiban ini tetap melekat pada perusahaan berdasarkan prinsip "polluter pays" yang diatur dalam undang-undang lingkungan hidup. Artinya, meski perusahaan telah membayar denda administratif Rp6,5 miliar per hektare, mereka tetap secara hukum wajib merehabilitasi lahan yang rusak. Jika tidak, negara atau pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata tersendiri.

Baca Juga: Bersinergi Dengan Daerah: KLHK Gandeng Pemda Sumut Rehabilitasi Ekosistem DAS & Masyarakat

Di ranah yang lebih berat, aktivitas pertambangan ilegal di kawasan hutan juga dapat berpotensi memicu sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Kehutanan atau Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara. Proses pidana ini berjalan secara terpisah dan melibatkan aparat penegak hukum seperti polisi dan jaksa. Keberadaan Satgas yang melibatkan Kejaksaan Agung memungkinkan koordinasi untuk eskalasi kasus ke ranah pidana jika diperlukan.

Dengan adanya ketiga lapisan sanksi ini—administratif, perdata, dan pidana—pemerintah membangun sistem penegakan hukum yang berlapis. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menutup celah bagi pelaku usaha yang mungkin beranggapan bahwa dengan membayar denda tertentu, mereka telah "bebas" dari segala tanggung jawab. Sistem berlapis ini meningkatkan risiko hukum bagi perusahaan yang melanggar.

Kepastian besaran denda dalam Kepmen ini justru menjadi keunggulan sanksi administratif. Perusahaan dapat secara langsung memperkirakan konsekuensi finansial dari pelanggaran mereka, berbeda dengan sanksi pidana yang hukuman akhirnya ditentukan hakim. Hal ini dapat berfungsi sebagai deterrent atau pencegah yang lebih efektif dalam dunia bisnis yang sangat memperhitungkan biaya dan risiko.

Oleh karena itu, Kepmen ESDM No. 391/2025 harus dilihat bukan sebagai akhir, melainkan sebagai awal dari proses penegakan hukum yang lebih komprehensif. Denda administratif adalah pintu pertama dan tercepat untuk memberikan sanksi, sementara proses hukum lainnya dapat berjalan paralel. Pemisahan ini memperkuat posisi negara dalam mendorong kepatuhan hukum secara menyeluruh, mencakup aspek administratif, lingkungan, dan pidana.

(Samuel Irvanda)

    Bagikan:
komentar