Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera menyusun cetak biru atau kerangka kerja yang terperinci bagi sektor pariwisata, sehingga pelaku industri dapat lebih siap bersaing di tingkat global, berkelanjutan, dan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian nasional.
"Seharusnya kita sudah mulai menyusun yang disebut blueprint. Jadi, kita tidak hanya berbicara tentang branding dan promosi," ujar Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.
Yusran menegaskan bahwa blueprint akan berfungsi sebagai pedoman yang jelas sekaligus solusi untuk berbagai masalah yang dihadapi sektor pariwisata belakangan ini. Ia menilai bahwa pembuatan blueprint lebih mendesak dibandingkan dengan membahas perubahan target pasar dalam prospek yang lebih luas.
Setiap aturan dan rincian yang diuraikan dalam blueprint dapat mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat, memperketat pengawasan terhadap tata kelola industri pariwisata, serta mendukung pertumbuhan ekosistem pariwisata di Indonesia.
Ia menunjukkan bahwa saat ini telah muncul penyedia akomodasi liar dan ilegal di dalam Online Travel Agency (OTA), yang menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat dengan penyedia akomodasi lokal akibat perizinan berusaha yang kurang ketat.
Banyak rumah penyedia akomodasi yang dijadikan sebagai kos-kosan atau apartemen muncul di kawasan perumahan, yang dalam aturan tata ruang dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) seharusnya tidak diperbolehkan.
"Kita dapat melihat di platform Airbnb, banyak rumah yang disewakan. Sebenarnya, pemerintah bisa memulai dari sana, dan bagaimana pihak asing dapat melakukan kegiatan usaha baik akomodasi maupun OTA yang tidak mematuhi peraturan yang berlaku," ujarnya.
"Hal ini menyebabkan devisa tidak masuk dan dibawa oleh pelaku ke luar negeri. Di saat negara membutuhkan devisa, pemain asing dibiarkan tanpa perizinan perusahaan yang seharusnya dikenakan pajak, sementara yang diambil hanya pajak pasar lokal saja," tambahnya.
Lebih lanjut, Yusran menyarankan agar blueprint yang dibuat harus memuat secara rinci target atau arah pembangunan pariwisata berbasis 5.0 seperti yang dinyatakan oleh Kementerian Pariwisata.
Di dalamnya juga harus mencakup aspek-aspek yang berkaitan dengan prosedur penggunaan teknologi digital serta langkah-langkah untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya.
Menurutnya, jika pariwisata berbasis 5.0 yang dimaksud pemerintah hanya berkaitan dengan Artificial Intelligence (AI), maka pelaku pariwisata sudah melakukannya lebih dahulu. Sebagai contoh, mereka telah menggunakan aplikasi untuk memesan kamar hotel secara online dan memanfaatkan robot di restoran serta hotel untuk melayani para tamu.
"Jika diperhatikan, saat ini industri pariwisata beralih dari padat karya menjadi padat modal karena sudah beralih ke digital, termasuk sektor akomodasi. Pemerintah harus peka terhadap cara mempertahankan industri ini dengan fokus pada perbaikan masalah perizinan perusahaan, pengawasannya, dan daya saingnya," ucap dia.
Dalam kesempatan tersebut, Yusran juga menyampaikan agar pemerintah berhenti mengubah-ubah nomenklatur kementerian yang dapat berdampak pada industri. Mengingat pasar di Indonesia sangat luas dan dapat memberikan banyak pemasukan bagi negara.
Ia berpendapat bahwa pemerintah perlu belajar dari Arab Saudi yang kini telah membuka diri untuk memfokuskan pariwisata sebagai salah satu sektor penting dalam pembangunan ekonomi.
"Jadi, kita harus mulai menyusun industri ini agar tetap berkelanjutan. Terlebih lagi, industri ini dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, jangan sampai kalah dengan negara lain," ucap Yusran.
Berita Terkait
404
404