Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendukung langkah Filipina yang berencana untuk menghentikan ekspor nikel, yang dapat memicu persaingan dalam menarik investasi. Meskipun belum ada kepastian, pemerintah Filipina saat ini sedang meratifikasi rancangan undang-undang (RUU) yang melarang ekspor nikel. Kebijakan ini diambil oleh pemerintah Filipina sebagai upaya untuk memperkuat industri pertambangan hilir, termasuk mendorong penambang untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter. Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Siti Sumilah Rita Susilawati, menyatakan bahwa kebijakan Filipina berpotensi menciptakan persaingan investasi di sektor hilirisasi nikel, namun juga dapat meningkatkan harga nikel. "Kebijakan Filipina memang berpotensi menciptakan persaingan dalam menarik investasi di sektor hilirisasi nikel. Namun, di sisi lain, hal ini juga dapat menyebabkan kenaikan harga bahan baku bijih nikel di kalangan penambang, karena sumber bahan baku hanya tersedia dari dalam negeri," ungkap Siti kepada Bisnis, Senin (12/5/2025). Meskipun demikian, dia menegaskan bahwa Indonesia memiliki keunggulan dalam menarik investasi hilirisasi nikel, seperti infrastruktur hilirisasi yang telah lebih dahulu terbentuk dan cadangan nikel yang melimpah. Namun, pihaknya tetap berkomitmen untuk meningkatkan daya saing. "Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan daya saing, terutama dalam hal kepastian hukum, insentif investasi, dan efisiensi birokrasi agar tetap menjadi tujuan utama bagi investor global di industri nikel," tambah Siti.
Sebaliknya, dia menilai bahwa rencana Filipina untuk menghentikan ekspor bijih nikel mulai bulan Juni mendatang mencerminkan tren global yang mengarah pada peningkatan nilai tambah komoditas tambang di dalam negeri. Situ menyatakan bahwa sebagai negara yang telah menerapkan kebijakan hilirisasi sejak 2014, Indonesia melihat langkah Filipina sebagai pengakuan atas keberhasilan RI, terutama dalam membangun ekosistem industri pengolahan dan pemurnian (smelter). 'Ini merupakan sinyal positif bahwa negara-negara produsen nikel mulai fokus pada keberlanjutan industri dan kedaulatan sumber daya,' ujar Siti. Diketahui bahwa Filipina adalah pemasok bijih nikel terbesar kedua di dunia, dengan sebagian besar pengirimannya ditujukan ke pasar utama di China. Pemerintah Filipina telah mendorong para penambang untuk berinvestasi dalam fasilitas pemrosesan alih-alih hanya mengirimkan bijih mentah. Upaya ini diharapkan dapat meniru keberhasilan Indonesia sebagai pemasok nikel nomor satu dalam meningkatkan pendapatan pertambangan. Larangan ekspor bijih nikel oleh Indonesia pada tahun 2020 telah mendorong nilai ekspor nikelnya dari US$3 miliar menjadi US$30 miliar dalam dua tahun, berkat pembangunan smelter oleh perusahaan-perusahaan China di Indonesia. Presiden Senat Filipina, Francis Escudero, menyatakan bahwa Filipina dapat mengikuti jejak Indonesia sebagai contoh negara kaya sumber daya yang mendorong nilai lebih dari mineralnya. 'Dari segi mineral, Filipina adalah negara kaya yang berpura-pura miskin,' ujarnya beberapa waktu lalu.
Berita Terkait
404
Vale Indonesia (INCO) Menunda RUPSLB Untuk Pergantian CEO
Tambang Nikel Raja Ampat Mengancam Ekosistem Laut
404
Vale Indonesia (INCO) Menunda RUPSLB Untuk Pergantian CEO
Tambang Nikel Raja Ampat Mengancam Ekosistem Laut