Indonesia pernah mengalami secara langsung manfaat dari legalisasi dan lokalisasi perjudian. Melalui aliran dana perjudian, pemerintah dapat memperoleh anggaran yang melimpah untuk pembangunan, seperti yang terjadi di Jakarta 58 tahun yang lalu.
Tahun 1967, pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan yang tidak biasa. Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, secara resmi melegalkan perjudian. Koran Sinar Harapan (21 September 1967) melaporkan bahwa kebijakan ini diambil agar perjudian tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Dengan melokalisasi perjudian ke dalam satu kawasan khusus, pemerintah berharap dapat memperoleh aliran dana dari hasil perjudian untuk menambah APBD. Pemerintah mencatat bahwa keuntungan dari perjudian ilegal mencapai Rp300 juta setiap tahunnya. Sayangnya, dana sebesar itu tidak mengalir ke pemerintah, melainkan ke tangan oknum-oknum yang melakukan perlindungan.
"Uang tersebut jatuh ke tangan oknum pelindung perjudian tanpa bisa dirasakan oleh masyarakat," ungkap Pemerintah DKI Jakarta kepada Sinar Harapan.
Berdasarkan hal ini, pada 21 September 1967, pemerintah Jakarta melegalkan perjudian melalui operasional kasino pertama di Indonesia yang tercatat berada di Kawasan Petak Sembilan, Glodok. Tak lama setelah itu, pemerintah juga mengizinkan keberadaan kasino di Ancol.
Arena kasino dibuka setiap hari tanpa henti dan dijaga ketat oleh aparat kepolisian. Namun, perjudian hanya diperuntukkan bagi WN China atau keturunan China di Indonesia. WNI tidak diperbolehkan untuk bertaruh di meja judi.
Kebijakan ini langsung mendapatkan reaksi keras dari masyarakat. Masyarakat menilai bahwa kebijakan legalisasi perjudian tidak sejalan dengan karakter Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa kebijakan ini menjadikan Jakarta sebagai sarang maksiat.
Menanggapi reaksi tersebut, Gubernur Ali Sadikin dengan tenang menjawab bahwa persentase maksiat di Jakarta belum mencapai 10% jika dibandingkan dengan Kairo dan Baghdad. Bahkan, dia malah mempertanyakan kebijakan apa yang dikeluarkan oleh para kritikus untuk memperbaiki Jakarta jika mereka menjadi gubernur?
"Bagaimana jika Anda menjadi Gubernur yang bertanggung jawab untuk memenuhi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat? Sementara itu, dana dari pusat hanya cukup untuk menutupi gaji dan pegawai," tegas Ali Sadikin, seperti yang dikutip oleh Kompas (30 Oktober 1968).
Beberapa bulan setelah itu, impian Ali Sadikin benar-benar terwujud. Pemerintah menerima aliran dana sebesar Rp130 juta. Kemudian, setahun setelahnya, tepatnya pada tahun 1968, pemerintah memperoleh dana sebesar Rp1,1 miliar.
Jumlah Rp130 juta pada waktu itu tergolong besar. Menurut surat kabar Nusantara (15 Agustus 1967), harga emas mencapai Rp230 per gram. Dengan demikian, uang Rp130 juta dapat membeli 565,2 gram emas. Jika dikonversikan ke harga saat ini, di mana 1 gram setara dengan Rp1,8 juta, maka 565 Kg emas atau Rp130 juta pada waktu itu setara dengan Rp1 miliar.
Jumlah tersebut berhasil meningkatkan APBD Jakarta yang sebelumnya hanya Rp70 juta. Masyarakat pun mulai merasakan dampak positif dari kebijakan tersebut. Pemerintah Jakarta segera melaksanakan beberapa proyek besar untuk mengubah Jakarta menjadi kota modern.
Harian Kompas (20 Mei 1968) merinci proyek-proyek yang didanai oleh uang hasil judi kasino pertama di Indonesia. Di antaranya: gedung kesenian senilai Rp2,5 juta, rumah sakit seharga Rp6 juta, dan gedung pusat kebudayaan yang menelan biaya Rp15 juta.
Jalan arteri di berbagai daerah juga diperbaiki. Mulai dari Kemayoran, Jl. Gajah Mada, hingga Blok A. Semua proyek tersebut menggunakan dana mulai dari Rp9,5 juta hingga Rp350 juta. Penerangan jalan juga diperbaiki. Selain itu, banyak sekolah juga mendapatkan alokasi dari keuntungan judi.
"Pendidikan, untuk sekolah dasar Rp14 juta. SMP-SMA Rp70 juta. Biaya tanah untuk SD Rp6 juta dan selanjutnya pada tahun 1968 akan dibangun 40 gedung sekolah lagi," tulis Kompas.
Penggunaan dana hasil judi untuk berbagai proyek menuai kritik dari banyak pihak. Para kritikus berpendapat bahwa proyek tersebut menjadi haram karena menggunakan uang judi. Namun, Ali Sadikin dengan tenang menanggapi kritik tersebut.
"Semua alim ulama memperdebatkan hal ini, namun saya menyampaikan kepada mereka bahwa jika mereka mengharamkan judi, mereka seharusnya memiliki helikopter. Sebab, infrastruktur jalan dibangun dengan dana dari perjudian. Oleh karena itu, jalan-jalan di Jakarta juga dianggap haram," tegas Ali kepada Tempo (2 Juli 2000).
Setelah mengalami polemik yang berkepanjangan, legalisasi perjudian di Jakarta secara resmi berakhir pada tahun 1974. Hal ini disebabkan oleh larangan pemerintah pusat terhadap perjudian melalui UU No.7 tahun 1974. Meskipun demikian, perjudian tetap ada dan dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dalam bentuk yang berbeda, mulai dari Porkas hingga SDSB.
Berita Terkait
IIF Mengurangi Hampir 5 Juta Ton Emisi Karbon Melalui Proyek Infrastruktur
404
404